Sunday, October 08, 2006

Bab Tiga : Membaca dan Menafsirkan Kitab Suci

Ribuan orang Indonesia -- terutama yang bermukim di wilayah perkotaan -- setiap pagi menikmati kopi atau teh dengan ditemani surat kabar. Bagi pembaca tertentu mungkin mereka langsung menuju kepada berita-berita yang terpampang di halaman depan, kemudian mengecek headline olah raga, melihat-lihat iklan yang ada kaitan dengan profesinya, membaca editorial atau opini, membaca cepat tulisan-tulisan kolom, dan yang paling akhir menikmati cerbung atau komik, tergantung korannya.

Tanpa disadari, mereka sejatinya telah melakukan pola analisa sastra yang cukup canggih. Begitu mereka membuka bagian-bagian tertentu pada lembar-lembar surat kabar, secara naluri mereka telah memilah-milah pelbagai macam bentuk tulisan dan menafsirkannya. Mereka mencari sesuatu di halaman muka dan mencari yang lainnya di bagian editorial, mencari informasi dari penulis kolom kesukaannya, dan juga dari halaman iklan. Mereka begitu antusias membaca berita sepak bola dan bulutangkis di halaman olah raga dan tertawa terbahak-bahak ketika membaca kartun “Panji Koming.”

Analisa Sastra Pelbagai Budaya

Barangkali kita bertanya dalam hati apa sih yang istimewa tentang membaca surat kabar? Sebelum membicarakan ihwal ini lebih lanjut, mari kita bayangkan sekenario berikut. Pada tahun 2025 bumi kita dihantam oleh sebuah meteor yang maha besar. Sebagian besar umat manusia terbunuh dan selanjutnya muncul pelbagai macam gangguan alam. Dari sedikit umat manusia yang selamat itu, mereka kemudian hidup di dalam gua-gua. Pada tahap awal mereka mengalami kesulitan untuk mulai membangun kembali sebuah peradaban. Namun pada tahun 5000 mereka telah mencapai puncak penelitian ilmiah mengenai kebudayaan-kebudayaan kuno, termasuk Indonesia di awal abad ke-21. Di bawah rongsokan yang berusia tiga ribu tahun, mereka menemukan dokumen-dokumen kuno dan kemudian menganalisanya dan mereka mulai menterjemahkan bahasa Indonesia ke dalam bahasa yang mereka pakai.

Suatu hari para arkeolog menemukan bagian dari sebuah surat kabar. Mereka dengan susah payah menerjemahkan sebuah berita di halam muka tentang perampokan. “Tembakan polisi merobohkan seorang penjahat yang mencoba merampok gaji karyawan sebuah pabrik,” begitu bunyi terjemahan mereka, yang cukup terbantu oleh gambar seorang penjahat yang tergeletak di atas genangan darah. Pada kesempatan lain, mereka menemukan bagian dari halaman olah raga yang terbaca:”Penonton bersorak ketika salah seorang pemain Persija dengan tepat menembak ke pojok kanan gawang yang dijaga Paimo, kiper Persebaya yang berusia 19 tahun, yang salah antisipasi dan jatuh ke sebelah kiri.” Para arkeolog sangat terkejut. Mereka sampai pada kesimpulan bahwa orang-orang Indonesia pada abad 21 sangat menikmati tontonan olah raga yang para pemainnya berlaga hingga titik darah penghabisan.

Kebingungan para arkeolog semakin menjadi-jadi terhadap orang Indonesia, ketika mereka menemukan cuplikan kartun “Panji Koming” di mana digambarkan seseorang sedang berbicara dengan seekor anjing. “Apakah anjing pada abad 21 bisa bicara dengan manusia?”

Kebingungan para arkeolog masih terus berlanjut sampai pada suatu ketika mereka menemukan surat kabar lain dan literatur-literatur yang dapat meningkatkan pengetahuan mereka tentang bahasa dan budaya Indonesia. Mereka kemudian memahami bahwa “menembak roboh penjahat” di halaman depan sangat berbeda dengan “menembak bola ke pojok kanan gawang dan penjaganya jatuh ke sebelah kiri” di halaman olah raga. Selanjutnya mereka mempelajari buku-buku tentang kartun dan mereka pun ikut tertawa terbahak-bahak ketika mampu menangkap kelucuan kartun “Panji Koming.” Mereka masih takjub bagaimana mereka selama ini sungguh keliru dalam memahami bangsa Indonesia.

Tugas para arkeolog abad ke-50 ini -- yang mempelajari budaya, memahami bahasa, dan mencari tahu makna sejati seperti yang dimaksudkan oleh para penulisnya -- akan diterapkan ke dalam pikiran orang-orang Indonesia abad duapuluh satu ini. Adapun belajar dan mengerjakan penelitian yang berkelanjutan menjadi prasyarat sebelum mereka dapat menterjemahkan tulisan-tulisan kita. Apa yang bangsa Indonesia kerjakan dengan begitu mudah dan tanpa banyak menguras pikiran akan menjadi tugas yang tidak ringan bagi para ilmuwan setelah melewati masa tiga ribu tahun.

Analisa Sastra Kitab Suci

Imajinasi sekenario di atas dapat membantu kita menyadari beberapa kesulitan yang berkaitan dengan pemahaman Kitab Suci. Kira-kira tiga ribu tahun telah berlalu semenjak bagian pertama dari Kitab Suci ditulis. Sebagaimana telah ditunjukkan pada Bab Satu, para arkeolog baru belakangan ini dapat menyingkap banyak hal yang sangat diperlukan guna memahami dengan baik Kitab Suci. Dengan demikian tidaklah mengherankan bahwa evaluasi ulang perlu dilakukan kembali atas beberapa kitab dari Kitab Suci. Barangkali hal ini akan mengganggu sebagian orang, tetapi pada sisi yang lain ia justru menjadi fakta bahwa hal tersebut sangat membantu kita dalam memahami makna yang sesungguhnya dari Kitab Suci. Betul bahwa beberapa kitab pada mulanya dianggap sebagai peristiwa historis, tetapi sekarang digolongkan ke dalam kategori lain. Tetapi juga betul bahwa landasan yang terpenting dari iman Kristiani kita yaitu sejarah, menjadi semakin kokoh dewasa ini dibandingkan sebelumnya. Sebagai contoh, sekarang ini tidak ada sejarawan yang mempertanyakan mengenai realitas kehidupan Yesus. Semakin kita mempelajari Kitab Suci, semakin mantap keyakinan kita bahwa iman kita berdiri di atas landasan yang kokoh.

Metoda menafsirkan Kitab Suci, yang berusaha kembali kepada makna asli sebagaimana yang dimaksud penulisnya dengan menganalisa kurun waktu, budaya, bahasa, dan pendukung-pendukung lainnya, disebut sebagai pendekatan kontekstual. Pendekatan inilah yang direkomendasi oleh Paus Pius XII dalam surat ensikliknya, Divino Afflante Spiritu, pada tahun 1943 baik melalui Konsili Vatican II, maupun Katekismus Gereja Katolik (K 109-110).

Pendekatan Kitab Suci lainnya adalah penafsiran fundamentalis, yang biasanya berpatokan bahwa setiap kata yang ada di Kitab Suci harus diartikan sebagaimana apa adanya. Ada beberapa macam fundamentalis, yang kesemuanya terlibat dalam penafsiran Kitab Suci yang berbeda satu dengan lainnya.

Sebagian fundamentalis mengatakan bahwa kisah penciptaan dalam bab pertama dari kitab Kejadian harus dipahami sebagaimana apa adanya, yaitu : Allah menciptakan dunia dalam kurun waktu enam hari (1 hari = 24 jam), dan istirahat pada hari ketujuh. Fundamentalis lainnya mengartikan bahwa hari-hari penciptaan terdiri atas waktu yang periodenya lebih panjang. Para fundamentalis sejatinya menafsirkan setiap bagian dari Kitab Suci; mereka menerangkan bagaimana Kitab Suci seharusnya dimengerti.

Hal ini semakin menunjukkan kepada kita bahwa Kitab Suci harus ditafsirkan. Kita telah melihat di beberapa bagian Kitab Suci menyebut: Ya Allah, “gunung” batuku dan kita mau tak mau harus menafsirkannya. Begitu yang terjadi di hampir seluruh bagian Kitab Suci. Permasalahan yang sesungguhnya adalah : Prinsip-prinsip yang bagaimana yang akan kita pergunakan dalam menafsirkan Kitab Suci?

Prinsip-prinsip Gereja Katolik Dalam Menafsirkan Kitab Suci

Para fundamentalis cenderung menafsirkan Kitab Suci menurut prinsip-prinsip subyektif dari pengajar perorangan atau menurut penafsiran pribadi orang tersebut. Orang Katolik didorong untuk menafsirkan Kitab Suci menurut prinsip-prinsip obyektif yang dianjurkan Gereja. Orang Katolik dibimbing kepada penafsiran Kitab Suci yang tepat dalam hal-hal pokok yang berkaitan dengan Iman sebab Gereja dengan jelas mendefinisikan doktrin-doktrin seperti Kebangkitan Kristus dan Kehadiran Nyata dalam Ekaristi. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa kita harus membaca Kitab Suci di dalam konteks Tradisi Gereja yang hidup. Allah mempercayakan Kitab Suci kepada Gereja dan mengutus Roh Kudus untuk membimbing Gereja kepada semua kebenaran dan kita dapat memahami Kitab Suci hanya dengan bimbingan Gereja (K 113).

Prinsip pertama dalam menafsirkan Kitab Suci adalah seperti yang telah disampaikan oleh Paus Pius XII, melalui Konsili Vatican II, dan dalam Katekismus Gereja Katolik (K 109-110). Kita hendaknya menggunakan pendekatan kontekstual guna menemukan makna harafiah dari setiap bagian Kitab Suci, dan arti sesungguhnya sebagaimana yang dimaksud penulisnya. Untuk menemukan penafsiran yang benar, kita harus mempelajari waktu, tempat, pola hidup, cara berpikir, tujuan dari penulisan, dan cara-cara mengungkapkan dari para penulis kitab tersebut.

Prinsip lainnya yang penting yang diungkapkan dalam Katekismus Gereja Katolik ( K 112) adalah kita harus memperhatikan dengan seksama isi dan kesatuan seluruh Kitab Suci. Kita hendaknya menafsirkan bagian-bagian Kitab Suci dalam terang bagian-bagian lainnya yang berhubungan dengan itu. Contoh klasik dalam hal ini adalah Matius 26:26-28, ketika Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: "Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku……. Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku.” Cukup aneh, inilah bagian dimana para fundamentalis menolak untuk menafsirkan secara harafiah. Tetapi gereja Katolik menafsirkan ini dalam terang Yohanes 6, di mana Yesus menyatakan diriNya sebagai roti kehidupan. Ketika Yesus berkata bahwa kita harus makan dagingNya dan minum darahNya, banyak para pendengarNya meninggalkan Dia. Yesus tidak memanggil mereka kembali dan mengatakan, “Kamu salah paham. Yang Saya maksudkan dengan itu hanyalah simbolis.” Apa yang Yesus inginkan kepada mereka yaitu mau percaya sulit untuk dapat diterima. Dan ketika mereka menolak Yesus dengan sedih hati membiarkan mereka pergi. Pasal lain misalnya 1 Kor 11:27, merujuk kepada Kehadiran Nyata Tuhan Yesus dalam rupa roti dan anggur. Gereja Katolik melihat kepada isi keseluruhan dari Kitab Suci. Dan percaya bahwa Yesus sungguh hadir dalam Ekaristi.

Prinsip ketiga dalam menafsirkan Kitab Suci adalah bahwa terdapat satu kesatuan dan konsistensi kebenaran Allah diungkapkan bagi keselamatan kita. Katekismus Gereja Katolik menyebut ini sebagai analogi iman (K 114). Beberapa penafsir secara keliru mengatakan bahwa iman dan karya saling berlawanan satu dengan lainnya, dan beraranggapan bahwa kita dapat selamat cukup dengan iman saja. Namun sejatinya iman dan karya tidak dapat dipisahkan. Dalam Gal 3:1-9, Paulus menekankan bahwa kebenaran datang melalui iman di dalam Kristus ketimbang melalui Taurat (hukum Yahudi). Dengan berkata demikian, Paulus bukannya menafikan pentingnya berkarya dengan baik, mengingat di Galatia 5-6 Paulus menggaris-bawahi bahwa karya itu sebagai “buah Roh” (Gal 5:22). Pasal-pasal yang menunjukkan pentingnya iman, secara konsisten merujuk kepada pasal-pasal yang memuat kebutuhan akan suatu karya. Perlu dipahami di sini bahwa “hanya iman yang bekerja oleh kasih.” Ketika prinsip kesatuan dan konsistensi diabaikan, hasilnya hanyalah ketidak-menentuan. Kemungkinan bisa saja terjadi, misalnya guna mendukung pendapatnya seseorang mengutip bagian-bagian Kitab Suci dan mengesampingkan bagian lainnya. Gereja Katolik didorong untuk mengenal keselarasan (harmony) di dalam rencana Allah. Ketika orang Katolik dicemooh karena imannya oleh seseorang dengan mengutip beberapa bagian Kitab Suci sambil mengabaikan bagian lainnya, jawaban kita harus menjelaskan posisi kita sebagai orang Katolik jika orang tersebut mau terbuka pikirannya. Jika orang tersebut tertutup pikirannya, kita harus menyatakan bahwa kita menghormati iman orang lain dan kita berharap pada mereka untuk melakukan hal yang sama.

Prinsip keempat adalah bahwa bahasa Kitab Suci menggunakan ungkapan yang beraneka ragam bukan berarti harus dipahami sebagaimana apa adanya. Beberapa contoh : "Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu." (Luk 17:6). “ Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka.” (Mat 5:29). Dan juga yang telah disinggung di muka “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” (Luk 14:26). Ungkapan bahasa yang demikian ini tidak mudah untuk diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain termasuk bahasa Indonesia. Namun demikian kita harus ingat bahwa kita pun mempunyai ungkapan yang juga tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain, seperti : “Aku telah bekerja keras dengan membanting tulang, guna memenuhi kebutuhan keluargaku.”

Prinsip kelima, bagian-bagian dari Perjanjian Lama hendaknya ditafsirkan dalam terang Yesus Kristus dan Perjanjian Baru (K 129). Jika demikian, sebuah pertanyaan patut kita alamatkan kepada beberapa cuplikan dari Perjanjian Lama :”Betulkah ini merupakan bagian dari pesan ilahi Allah yang disampaikan kepada kita?” Misalnya, pemazmur berteriak menuntut balas, “Hai puteri Babel, yang suka melakukan kekerasan, berbahagialah orang yang membalas kepadamu perbuatan-perbuatan yang kaulakukan kepada kami! Berbahagialah orang yang menangkap dan memecahkan anak-anakmu pada bukit batu! Jelaslah hal-hal demikian ini bukan merupakan pesan Yesus Kristus! Kendati demikian, kita dapat menganggap bahwa hal tersebut merupakan cermin dari teologi Perjanjian Lama yang belum sempurna, dan bukan merupakan indikasi kehendak Allah bagi kita.

Sebagai pedoman umum, akan lebih baik mengatakan bahwa jika suatu bagian dari Perjanjian Lama yang merujuk kepada Allah tetapi tidak mengacu kepada Yesus Kristus, seyogianya bagian itu harus ditafsirkan dalam terang kehidupan dan ajaran Kristus. Sebagai contoh, rasanya kurang tepat jika kalimat berikut ini berasal dari perintah Allah kepada pemimpin militer dalam Perjanjian Lama untuk membantai setiap lelaki, perempuan dan anak-anak yang tidak berdosa di setiap kota yang ditaklukkan. Hal ini barangkali bisa dikatakan sebagai kesalahan para pemimpin militer yang percaya bahwa tindakan mereka – yang membantai wanita dan anak-anak tidak berdosa -- itu didukung oleh Allah.

Inspirasi dan Kebenaran Kitab Suci

Pendekatan kontekstual kepada Kitab Suci bukan berarti menolak kebenaran Kitab Suci itu sendiri. Gereja Katolik mengajarkan bahwa Allah adalah penulis Kitab Suci. Inilah yang diartikan sebagai inspirasi biblis (alkitabiah). Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. (2Tim 3:16; lihat juga 2Ptr 1:20-21)

Karena Allah adalah penulis Kitab Suci, maka seluruh kitab dalam Kitab Suci mengajarkan kebenaran tanpa kesalahan yang oleh Allah dikehendaki untuk diungkapkan demi keselamatan kita (K 107). Kendati demikian kebenaran itu dinyatakan dengan pelbagai cara dalam bermacam-macam bentuk tulisan seperti sejarah, nubuat, puisi, peraturan atau hukum, kata-kata bijak, mitos, legenda, cerita dunia binatang, dan perumpamaan.

Seluruh bentuk tulisan itu mampu mengkomunikasikan kebenaran dengan gambaran yang begitu dramatis. Sebuah puisi misalnya, mampu mengungkapkan kebenaran sedemikian rupa sehingga tidak mungkin ditiru oleh sebuah kamus. Baris-baris pembuka puisi Chairil Anwar berjudul “Krawang-Bekasi”…….

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi!

Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi............

Dalam puisi itu seolah-olah tulang-belulang serdadu yang mati bisa bicara. Tetapi dari sebuah kamus kita diyakinkan bahwa tulang-belulang adalah berfungsi sebagai penyangga tubuh dan yang jelas ia tidak mungkin bisa berkata-kata. Seorang Chairil Anwar dan sebuah kamus keduanya menyatakan kebenaran. Chairil Anwar mengungkapkannya dalam bentuk puisi yang menggambarkan kebisuan para serdadu yang mati, yang diwakili oleh tulang-belulang yang berserakan mulai dari Krawang hingga Bekasi. Sedangkan dari sebuah kamus kita mendapatkan penjelasan yang bersifat teknis. Jika kita memahami cara membaca puisi, kita akan mengetahui kebenaran dari baris-baris puisi Chairil Anwar dan mengerti bahwa baris-baris itu mengungkapkan suatu realitas, yang tidak bisa kita dapatkan dari sebuah kamus.

Menarik untuk dicatat bahwa semakin penting sesuatu hal bagi kita, semakin besar kecenderungan kita untuk mengungkapkannya dalam bentuk puisi atau tulisan lain yang bukan ilmiah. Pola-pola ilmiah lebih menggunakan bahasa yang lugas dan hanya sesuai untuk laboratorium. Tetapi ketika kita berhubungan dengan hal-hal yang paling mendalam dalam hidup kita, kita seolah-olah kehilangan kata-kata, tidak bisa berbicara. Dan biasanya kita malah berpaling kepada puisi, gambar-gambar, simbol-simbol, dan sebuah lagu. Kitab Suci berhubungan erat dengan kehidupan dan kematian, cinta dan kebencian, baik dan buruk, Tuhan dan bukan tuhan. Bila Kitab Suci hanya sebatas pada bahasa ilmiah maka ia tidak mampu mengungkap persoalan-persoalan besar itu.

Penting untuk digarisbawahi bahwa ada perbedaan mendasar antara kebenaran dan kebenaran yang berdasarkan historis. Sebuah cerita yang tidak berdasarkan historis mampu mengungkapkan kebenaran, seperti perumpamaan “Tentang Anak Yang Hilang” yang diceritakan Yesus (Luk 15:11-32). Anak yang hilang itu tidak sungguh-sungguh ada, tetapi inti dari perumpamaan itu benar : Allah mencintai kita lebih dari yang dapat kita bayangkan dan Ia selalu siap untuk memaafkan kesalahan kita.

Adakalanya seseorang secara historis memang benar-benar ada dan menjadi pelaku peran dalam cerita yang tidak historis. George Washington misalnya, secara historis memang benar-benar ada, tetapi cerita tentang dia saat masih kecil yang mematahkan pohon cherry ayahnya dan kemudian mengakui kesalahannya barangkali tidak benar secara historis. Cerita ini mengandung pesan moral : kejujuran adalah sikap yang paling baik. Begitu pula di dalam Kitab Suci, Abraham memang ada secara historis, tetapi cerita-cerita tentang kepahlawanan Abraham barangkali tidak benar secara historis namun cerita itu menyampaikan ajaran-ajaran religius. Cerita mengenai Allah yang meminta Abraham mengorbankan anak laki-lakinya, Ishak, menjadi cerita yang melampaui historis sebab ia menggambarkan hubungan antara Allah dan umat manusia (Kej 22:1-19). Apa yang sesungguhnya terjadi di dalam peristiwa tersebut tidak mungkin terungkap bila menggunakan terminologi-terminologi historis semata. Di dalam Kitab Suci, perumpamaan, puisi, mitos, cerita dunia binatang, dan bentuk-bentuk tulisan lainnya menjadi wahana untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran religius yang sangat penting, banyak di antaranya menjadi di luar historis.

Inspirasi dan Keterbatasan Manusia

Pemahaman Katolik tentang inspirasi (wahyu) adalah bahwa Allah tidak semata-mata mendiktekan firmannya, tetapi Allah mempengaruhi para penulis untuk menggunakan bakat dan kemampuan yang dimilikinya. Alhasil, Kitab Suci adalah Firman Allah dan juga sekaligus merupakan hasil karya manusia. Gereja mengajarkan bahwa seluruh kebenaran yang Allah inspirasikan bagi keselamatan kita tidak pernah keliru (K 107), tetapi ada bagian-bagian di dalam Kitab Suci (misalnya catatan para ilmuwan mengenai hal-hal yang berbau ilmiah dan sejarah) yang tidak bersinggungan langsung dengan keselamatan kita. Oleh karena itu, Kitab Suci bisa saja memiliki keterbatasan-keterbatasan yang datangnya dari manusia sejak awal. Khususnya dalam Perjanjian Lama mengandung banyak hal yang kurang sempurna dan tidak lengkap (K 122).

Manusia penulis Kitab Suci adalah orang-orang yang berasal dari jamannya sendiri dalam kaitannya dengan pengetahun mereka terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahun. Para penulis Kitab Suci seolah-olah tidak peduli terhadap kenyataan (ilmu pengetahuan) bahwa bumi berputar pada porosnya mengelilingi matahari, manusia pada jaman itu berpendapat bahwa bumi di sangga oleh pilar-pilar. Allah mengilhami orang-orang semacam itu -- yang memiliki pelbagai keterbatasan dalam ilmu pengetahuan dan kesalahan dalam mengungkapkan penciptaan dunia --, untuk mengajarkan dasar-dasar kebenaran yang hingga hari ini masih berlaku. Allah menggunakan mereka – para penulis yang gagasan-gagasannya (ide-ide) kurang tepat – untuk menyampaikan pesan kebenaran : Allah menciptakan segala sesuatu yang ada!

Manusia penulis Kitab Suci adalah orang-orang yang berasal dari jamannya sendiri dalam ketidak-mampuannya menangkap keseluruhan wahyu Allah. Allah membimbing mereka sejauh mereka mampu menerima wahyu ilahi. Mereka yang hidup lima ratus tahun sebelum Kristus tidak mampu membedakan antara sebab dan akibat. Mereka berpendapat bahwa Allah penyebab segala sesuatu termasuk kejahatan. (Kel 11:10). Dalam hal ini mereka keliru, dan Allah tidak mengilhami keterbatasan-keterbatasan mereka (yang semuanya bersifat manusiawi). Tetapi Allah dapat mengilhami keterbatasan manusia-manusia penulis untuk membawa kebenaran tentang hal-hal penting lainnya. Setelah beberapa abad dan manusia telah tumbuh dewasa secara spiritual, mereka semakin mampu memahami kebenaran akan Allah. Dalam kitab-kitab yang terkini dari Perjanjian Lama dan di dalam Perjanjian Baru, kita dapat menemui pemahaman yang semakin jelas tentang sebab-sebab dan akibat yang berkaitan dengan Allah.

Pernah seorang anak muda berkata kepada saya, “Saya sungguh tidak bisa memahami bagaimana orang Katolik percaya bahwa Bunda Maria mendoakan kita, karena di dalam Kitab Suci sendiri dikatakan orang mati tidak bisa berbuat apa-apa. Sejauh saya pahami, Pengkotbah 9:5 menjelaskan ihwal ini secara tuntas.” Pernyataan ini adalah salah satu contoh klasik menggunakan Kitab Suci secara tidak tepat. Pengkotbah 9:5 menyatakan bahwa :” Karena orang-orang yang hidup tahu bahwa mereka akan mati, tetapi orang yang mati tak tahu apa-apa.” Anak muda itu mengutip bagian ini seakan-akan sebagai kata akhir dari Kitab Suci tentang hidup sesudah mati. Tetapi sesungguhnya jauh dari kata akhir. Kita manusia belajar segala sesuatu setahap demi setahap. Dari ketidaktahuan perlahan-lahan bergerak kearah pengetahuan. Roh Kudus secara nyata membimbing kita kepada pemahaman akan kebenaran yang lebih sempurna (Yoh 16:13). Pengarang Pengkotbah yang menulis beberapa ratus tahun sebelum Yesus Kristus melakukan kekeliruan ihwal kehidupan kekal. Tetapi pesan-pesan yang diinspirasi dari Pengkotbah adalah bukan kata akhir dari hidup sesudah mati. Melainkan, pesan-pesan itu menunjukkan bahwa kita memerlukan seorang Penyelamat. Kitab-kitab terkini dari Perjanjian Lama seperti 1 dan 2 Makabe dan Kebijaksanaan mengajarkan kehidupan sesudah mati. Yesus semakin memperjelas realitas kehidupan kekal dan ajaran-ajarannya tentang kehidupan kekal dapat kita jumpai di dalam Perjanjian Baru.

Allah tidak pernah berubah, tetapi manusialah yang berubah dalam artian kemampuan mereka untuk mendengarkan pesan-pesan Allah. Perlu dipahami bahwa telah terjadi perkembangan doktrin dalam hubungannya dengan kitab-kitab yang ada dalam Kitab Suci, semakin kita mengetahui sejarah dan informasi Kitab Suci, akan semakin baik pemahaman kita mengenai Kitab Suci. Beberapa bagian dari Kitab Suci tergolong out of date ( ketinggalan jaman); namun bagian-bagian itu masih berguna sebab ia menunjukkan kepada kita tahap-tahap perkembangan dalam memahami pesan-pesan Allah, namun demikian bagian-bagian itu tidak harus menjadi pedoman dalam kehidupan nyata kita. Bagian-bagian itu harus ditafsirkan dan dimengerti di dalam terang keseluruhan Kitab Suci, utamanya mengenai ajaran-ajaran Yesus.

Inspirasi dan Ketidakjelasan

Penulis-penulis Kitab Suci kadangkala menempatkan versi-versi yang berbeda dari suatu peristiwa di dalam kitab yang sama. Hal ini terjadi mungkin karena penulis tersebut tidak begitu yakin versi mana yang benar atau dikarenakan peristiwa itu berasal dari tradisi-tradisi yang berbeda sehingga penulis berkeinginan untuk melestarikan keduanya. Oleh karena itu, bila kita baca Kis 9:37 diceritakan pada saat Yesus menampakkan diri kepada Paulus, mereka yang menyertai Paulus “mendengar suara tetapi tidak melihat seorang pun.” Sedangkan pada Kis 22:9 mereka “melihat cahaya tetapi tidak mendengar suatu suara.” Barangkali Lukas mendapatkan laporan dua versi peristiwa beberapa tahun sebelumnya dan tidak bisa menentukan peristiwa mana yang lebih akurat, sehingga Lukas memasukkan keduanya dalam tulisannya. Jelaslah di sini Lukas tidak berusaha untuk membuktikan mana di antara keduanya yang paling benar. Yang menjadi pokok persoalan di sini adalah bukan apa yang hendak diungkapkan Lukas atau apakah Allah berkata melalui Lukas tanpa salah, melainkan Yesus telah menampakkan diri kepada Paulus dan merubah seluruh hidupnya. Jika cerita-cerita yang kurang begitu jelas dan agak membingungkan tidak menjadi masalah bagi penulis Kitab Suci, seyogianya hal-hal demikian itu hendaknya juga tidak menjadi gangguan bagi kita. Para penulis dan kisah-kisah yang ditulisnya adalah semacam alat bagi tujuan utama Kitab Suci : ungkapan realitas rohani!

Kitab Suci dan Tradisi : Wahyu

Segala hal yang telah dikatakan mengenai Kitab Suci diwariskan melalui Gereja Katolik. Dan peranan Gereja dalam menafsirkan Kitab Suci dapat membantu kita memahami bahwa Kitab Suci berasal dari Gereja, bukan sebaliknya Gereja berasal dari Kitab Suci.

Dengan menetapkan tujuh puluh tiga kitab pada Kitab Suci yang diinspirasi Allah dan menolak beberapa kitab yang tidak diinspirasi, Gereja Perdana seolah-olah mengatakan : “Inilah yang kita yakini mengenai Allah, Yesus Kristus, kehidupan dan kematian, dan juga tentang kita sebagai Gereja dan yang itu kita tolak.” Seluruh kitab dari Kitab Suci, pada gilirannya kemudian, membantu mempertajam iman setiap generasi baru Kristen.

Jelas hal tersebut merupakan suatu proses yang sangat dinamis yang menimbulkan pertentangan. Pada awal abad keempat sesudah Kristus, muncul kelompok orang yang menginginkan pembatasan atas penyelamatan yang dilakukan oleh Yesus Kristus dengan menyatakan bahwa semua orang Kristen harus mengikuti hukum Musa. Sedangkan kaum heretics mengatakan bahwa Yesus adalah Tuhan, tetapi bukan manusia. Kelompok lain bersikeras bahwa Yesus adalah manusia dan bukan Tuhan. Sedangkan yang lainnya lagi menolak apa yang dikatakan Yesus bahwa Allah adalah Bapa, Putra, dan Roh Kudus.

Gereja sudah barang tentu melawan pendapat salah tersebut dan menyatakan bahwa Allah mengungkapkan kebenaran mengenai doktrin-doktrin penting di dalam seluruh kitab-kitab yang ada dalam Kitab Suci yang diterima sebagai yang diinspirasi. Doktrin-doktrin tersebut menyangkal ajaran-ajaran yang keliru dengan menolak kitab-kitab yang kemudian disebut sebagai Injil Genostic dan beberapa kitab lainnya yang dijuluki sebagai “kitab-kitab tersembunyi” dari Kitab Suci. Gereja juga mengungkapkan imannya melalui : cara menafsirkan Kitab Suci, ketetapan yang dihasilkan konsili, merumuskan iman yang disebut kredo, dan bentuk-bentuk ungkapan peribadatan. Melalui pelbagai cara inilah Kristus membimbing Gerejanya yang kita kenal sebagai “Katolik,” dan Kitab Suci yang diinspirasi yang disebut sebagai Kitab Suci Katolik. Melalui proses ini Gereja tidak menciptakan perangkat imannya sendiri. Melainkan Gereja hanya dapat mengajarkan kebenaranan yang telah diwahyukan Allah kepada manusia. Allah telah mewahyukan beberapa kebenaran melalui cara yang sangat alami. Dunia misalnya, menunjukkan kepada kita akan kebesaran Allah. Namun Allah juga telah berbicara kepada kita dengan pelbagai cara yang ajaib, mengajarkan kepada kita kebenaran Ilahi yang kita sendiri belum bisa memahaminya. Pada masa Perjanjian Lama Allah mengungkapkan kebenaran melalui penulis yang diinspirasi. Kemudian, pada masa yang dijanjikan, Allah mengutus Yesus Kristus sebagai Sabda Yang Diwahyukan secara sempurna (Yoh 1). Apa yang Yesus ajarkan kepada para muridNya kemudian diwariskan secara lisan dan tulisan. Wahyu Ilahi Allah inilah yang pada gilirannya kemudian diteruskan kepada kita melalui dua cara : Tradisi-tradisi Suci dan Kitab Suci.

Tradisi-tradisi Suci dan Kitab Suci merupakan “lumbung iman” Sabda Allah. Yesus mewartakan kebenaran yang diperlukan bagi keselamatan kita dan ini berarti bahwa Warisan Iman itu telah lengkap. Gereja tidak menambahkan apa-apa pada “lumbung iman” Sabda Allah tersebut, tetapi di bawah bimbingan Roh Kudus, lumbung iman Sabda Allah itu berkembang dalam artian pemahamannya atas apa yang telah Yesus wartakan. Gereja meneruskan “lumbung iman” Sabda Allah dari generasi ke genarasi dan ia berkembang menjadi sebuah kesadaran yang mendalam akan keindahan Wahyu Allah (K 74 – 100).

Tradisi dapat diartikan sebagai “meneruskan.” Dan Tradisi Suci dapat diartikan sebagai cara Gereja meneruskan dan menafsirkan Kitab Suci, juga hasil keputusan konsili, kredo-kredo, peribadatan, dan konsistensi pada ajaran Gereja. Hal-hal tersebut tidak bertentangan dengan Kitab Suci tetapi berkaitan erat dengan Kitab Suci dan berlandaskan pada Kitab Suci, dan berkembang atas dasar Kitab Suci.

Beberapa gereja bersikeras bahwa keseluruhan doktrin harus dapat ditemukan secara eksplisit di dalam Kitab Suci. Tetapi Gereja Katolik tidak sependapat, karena iman kita tidak dapat dibatasi hanya pada apa yang dikatakan Kitab Suci saja, mengingat pada awal kehidupan Gereja belum ada kitab-kitab Perjanjian Baru. Orang-orang Kristen Perdana percaya pada Tradisi Suci sebelum Kitab Suci yang kita kenal sekarang ini ada.

Gereja Katolik mengajarkan bahwa setiap doktrin harus selaras dengan Kitab Suci, tetapi tidak harus dinyatkan secara eksplisit di dalam Kitab Suci. Sebuah contoh yang paling jelas adalah doktrin mengenai Trinitas. Kitab Suci memang menyebutkan Bapa, Putra, dan Roh Kudus, tetapi tidak pernah menggunakan istilah Trinitas. Apa yang termaktub secara implisit di dalam Kitab Suci dinyatakan secara eksplisit dalam Tradisi Suci Gereja.

Tradisi Suci diperlukan ketika Gereja menerapkan ajaran Kitab Suci untuk merubah situasi atau kondisi. Gereja melakukan hal tersebut dengan bimbingan Roh Kudus, sebab Yesus mengatakan kepada murid-muridNya : “Masih banyak hal yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang.” (Yoh 16:12-13). (Lihat Bab Duabelas untuk penjelasan rinci mengenai hubungan antara Kitab Suci dan Tradisi Suci).

Kitab Suci : Kitab Katolik

Kita sejauh ini telah membahas Kitab Suci sebagai kitab “Katolik”. Ini bukan untuk memojokkan siapa pun. Harap diingat bahwa Kitab Suci asli orang Kristen ditetapkan melalui komunitas orang-orang beriman yang dipimpin oleh para uskup Katolik dan disyahkan menjadi sebuah kumpulan kitab melalui keputusan konsili oleh para uskup Katolik.

Kitab Suci dipelihara dan diwariskan selama berabad-abad oleh Gereja Katolik. Sebelum diketemukan mesin cetak, para biarawan dan biarawati Katolik menyalin huruf demi huruf Kitab Suci dengan tangan. Banyak dokumen tulisan-tangan itu yang masih terpelihara dengan baik hingga hari ini. Hal ini sebagai wujud cinta dan kemampuan artistik dari para biarawan dan biarawati yang menulis salinan Kitab Suci.

Selama dua ribu tahun Kitab Suci telah dibaca setiap hari pada perayaan Ekaristi. Sabda Allah telah dinyatakan kepada orang-orang Katolik di katakombe-katakombe, di rumah-rumah pribadi, dan di katedral yang megah. Ini menunjukkan sebuah kesaksian yang langgeng atas hormat dan cinta Gereja kepada Kitab Suci. Lectionary Katolik, yakni kalendar tiga tahunan bacaan Kitab Suci yang dipergunakan untuk hari Minggu, adalah model Common Lectionary yang banyak dipergunakan di gereja-gereja Protestan.

Gereja Katolik mendorong umatnya untuk membaca Kitab Suci. Konsili Vatican II dalam Konstitusi Dogmatis Tentang Wahyu Ilahi antara lain mengatakan :

……..mendesak dengan sangat dan istimewa semua orang beriman, terutama para religius, supaya dengan seringkali membaca kita-kitab ilahi memperoleh “pengertian yang mulia akan Yesus Kristus” (Flp 3:8). “Sebab tidak mengenal Kitab Suci berati tidak mengenal Yesus Kristus.” Maka hendaklah mereka dengan suka hati menghadapi nas yang suci sendiri, entah melalui liturgi suci yang sarat dengan sabda-sabda ilahi, entah melalui bacaan yang saleh……...Namun hendaklah mereka ingat, bahwa doa harus menyertai pembacaan Kitab Suci, supaya terwujudlah wawancara antara Allah dan manusia. Sebab “kita berbicara dengan-Nya bila berdoa; kita mendengar-Nya bila membaca amanat-amanat ilahi” (#25; lihat juga K 131 – 133).

Hakikat Kitab Suci

Katekismus Gereja Katolik menggaris-bawahi bahwa selain arti harafiah (arti yang dicantumkan oleh kata-kata Kitab Suci dan ditemukan oleh eksegese, yang berpegang pada peraturan penafsiran teks secara tepat. Tiap arti [Kitab Suci] berakar di dalam arti harafiah) yang dimaksudkan oleh para penulis Kitab Suci, terdapat pula arti rohani (berkat kesatuan rencana Allah, maka bukan hanya teks Kitab Suci, melainkan juga kenyataan dan kejadian yang dibicarakan teks itu dapat merupakan tanda) (K 115-119). Berkat kesatuan rencana Allah bagi keselamatan kita, Allah bermaksud menghubungkan hal-hal yang oleh manusia penulis Kitab Suci tidak disadari. Misalnya beberapa nas Kitab Suci mengungkapkan keterkaitan satu dengan lainnya melalui simbol-simbol dan analogi. Dan banyak peristiwa Kitab Suci dapat menjadi pertanda yang mengajak kita untuk memberikan perhatian atas realita-realita yang lebih mendalam. Allah mengetahui dan berkehendak atas hubungan-hubungan tersebut, dan Gereja berusaha mencarinya melalui doa dan permenungan. Katekismus Gereja Katolik membagi arti rohani menjadi tiga golongan :

Kesatu, arti alegoris. Hal ini dapat berarti bahwa kejadian-kejadian Kitab Suci dapat menghadirkan suatu simbol yang melampaui arti harafiah dari teks itu sendiri. Misalnya, peristiwa penyeberangan Laut Merah adalah sebuah alegori, sebuah tanda, yang menggambarkan Pembaptisan Kristiani.

Kedua, arti moral, memiliki makna bahwa kejadian-kejadian yang digambarkan Kitab Suci harus mangajak kita untuk melakukan yang baik. Kitab Rut, misalnya, tidak hanya sekadar bercerita tentang seorang wanita yang patuh kepada Allah dan kepada keluarganya, melainkan cerita itu mengajak kita agar meniru apa yang diperbuat Rut.

Ketiga, arti anagogis, kata ini berasal dari bahasa Yunani yang berarti menghantar, dan ia menunjukkan bahwa kejadian-kejadian dalam Kitab Suci mempunyai arti yang abadi. Dalam makna anagogis kota Yerusalem di bumi adalah lambang Yerusalem surgawi, dan Gereja di bumi merupakan perlambang rumah abadi kita di surga.

Kitab Suci : Allah Berbicara Kepada Kita

Dalam Bab Dua kita lebih melihat pada pembentukan Kitab Suci. Sedangkan dalam Bab Tiga ini kita telah menyadari betapa pentingnya penafsiran Kitab Suci. Oleh karena itu, kita seyogianya memiliki pemahaman yang baik atas orisinalitas dan tafsir Kitab Suci. Namun demikian, kita tidak hanya sekadar memahaminya saja, tetapi lebih dari itu kita harus memiliki kesadaran bahwa di dalam Kitab Suci Allah berbicara kepada kita sebagai seorang Bapa yang penuh cinta kepada anak-anak-Nya.

Jika kita membuka dan membaca Kitab Suci, Allah yang tidak terbatasi oleh waktu dan ruang berbicara kepada kita melalui Sabda yang sama yang telah disampaikan-Nya kepada Abraham, Musa, dan nabi-nabi. Begitu pula jika kita membuka dan membaca Kitab Suci, Yesus berbicara kepada kita seketika itu juga, sebagaimana halnya Ia berbicara kepada para Rasul dua ribu tahun yang lalu (K 101-102).

Melalui Kitab Suci, Allah menyampaikan kepada kita suatu pencerahan yang akan membantu kita bila kita berada dalam situasi khusus yang datang setiap hari. Firman-firman Allah yang telah kita baca berulang-kali pada waktu lalu mungkin menyentuh kita dengan kekuatan baru ketika kita sedang berduka karena kematian orang yang kita cintai atau ketika kita sedang bingung tidak tahu apa yang harus kita perbuat atau ketika kita sedang mencari jawaban atas makna hidup.

Setiap kali kita membuka Kitab Suci, kita “memutar nomor tilpun Allah.” Kita bisa saja memilih buku-buku lain dari rak perpustakaan kita, membacanya, dan belajar suatu informasi yang berguna. Tetapi saat kita membaca buku-buku tersebut, penulisnya tidak mengetahui apa yang sedang kita perbuat. Sebaliknya, begitu kita membuka Kitab Suci, Allah menyapa kita :”Hallo.”

Allah senantiasa berada di dekat kita membantu mengatasi pelbagai persoalan yang kita hadapi sehari-hari. Sungguh, Firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua mana pun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita (Ibr 4:12). Katekismus Gereja Katolik mengajak kita untuk memahami arti harafiah dari Kitab Suci, arti yang dimaksudkan oleh penulis manusia asli. Tetapi Katekismus Gereja Katolik juga mengundang kita untuk mencari pelbagai makna rohani yang memungkinkan Allah berbicara secara pribadi kepada kita.

Ketika kita putus asa, Yesus berkata kepada kita, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat 11:28). Ketika kita mengalami ketakutan, Yesus berkata :”Damai sejahtera bagi kamu!” (Yoh 20:19). Ketika kita kesepian, Yesus menguatkan kita, “Aku menyertai kamu senantiasa” (Mat 28:20).

Firman Allah di dalam Kitab Suci mengundang kita untuk memberikan suatu jawaban. Kita menjawab Firman Allah itu melalui doa-doa : kita membaca Firman Allah, dan berbicara kepada Allah sebagaimana kita lakukan kepada setiap sahabat. Kita menjawab Firman Allah melalui pilihan-pilihan hidup kita : kita membaca hingga kita menemukan sebuah ungkapan yang menantang kita untuk mengambil keputusan, kemudian membuat keputusan berdasarkan atas apa yang telah Allah sampaikan kepada kita. Kecuali Kitab Suci : tidak ada satu pun buku yang menyediakan komunikasi kepada Allah. “Sungguh, Firman Allah hidup dan kuat.”

Pertanyaan Untuk Bahan Diskusi dan Renungan

Bagaimana pemahaman anda mengenai bentuk-bentuk sastra? Ada berapa macam bentuk sastra yang dapat anda ketahui dari sebuah suarat kabar? Berapa banyak dalam Kitab Suci? Bagaimana masing-masing bentuk sastra di surat kabar dan di dalam Kitab Suci mewartakan kebenaran? Apakah perbedaan antara pendekatan konstekstual dan fundamentalis terhadap Kitab Suci? Apakah perbedaan antara sejarah dan fakta yang sesungguhnya? Pernahkah anda mempertimbangkan untuk menafsirkan Perjanjian Lama dalam terang Yesus Kristus? Apakah hal tersebut membawa anda kepada pemahaman lain yang selama ini telah anda mengerti dari beberapa bagian Kitab Suci? Dalam hal yang bagimana Kitab Suci disebut sebuah kitab Katolik? Apakah artinya bila anda membuka Kitab Suci, anda memutar nomor milik Allah?

Aktivitas

Panggillah teman anda melalui tilpun, hanya sekadar melakukan pembicaraan santai. Kemudian, dari pengalaman pembicaraan yang masih segar dalam pikiran anda, ambillah Kitab Suci anda dan nikmatilah suasana santai atas kunjungan Yesus.

No comments: